Senin, 14 Desember 2009

MENGAPA KITA MENGGUNAKAN API DALAM AGAMA KITA?


Setiap keluarga Hindu seharusnya memiliki sebuah lampu minyak yang dinyalakan secara terus-menerus di altar keluarga atau tempat sembahyangnya. Lampu ini dinyalakan saat pemujaan pagi dan dipadamkan ketika waktu tidur tiba (atau seusai sembahyang malam saat tidak ada lagi kegiatan lebih lanjut yang akan dilakukan). Ini merupakan bentuk penyederhanaan dari pemeliharaan api suci yang pada jaman Veda merupakan bentuk ritual pengorbanan suci yang harus dilakukan terutama oleh perumah-tangga seumur hidup. Api suci yang sama digunakan sebagai sumber api di dapur dan pada akhirnya juga untuk menyalakan api kremasi. Jadi salah satu ciri khas dari tradisi suci kita adalah penggunaan api ini. Lampu minyak ini disebut Dipa atau ada juga yang menyebutnya Jyothi, yang artinya cahaya. Beberapa sistem meditasi dikembangkan dengan menggunakan cahaya lampu minyak ini sebagai objeknya. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi swahipnosis (memasuki kondisi hypnosis dengan usaha sendiri) dapat dilakukan dengan metode ini. Oleh karena itu banyak meditator yang merasakan ketenangan pikiran khas meditasi hanya dengan metode sederhana ini.

Sesungguhnya kekuatan persembahan api bukan sebatas itu saja. Melalui metode-metode khusus yang tertuang dalam Agamasastra atau Tantrasastra, bentuk pemujaan Veda yang cenderung rumit dan bersifat eksklusif diterjemahkan kembali sebagai pemujaan publik di Pura atau bentuk sederhananya di keluarga pribadi. Persembahan benda-benda duniawi yang dikonsekrasi atau diubah menjadi wujud rohaninya yang tak terbatas memegang peranan penting dalam pemujaan Tantrika. Paling tidak ada lima persembahan dasar yang disebut Upachara, berkaitan dengan lima unsur alam, yaitu tanah, udara, api, air, dan ruang. Tanah memiliki kekuatan aroma (gandha) dilambangkan oleh upachara-gandha, wewangian pasta cendana. Ruang memiliki kekuatan suara (shabda), dinyatakan oleh upachara-pushpa, persembahan bunga-bungaan. Udara memiliki kekuatan sentuhan (sparsha) dinyatakan melalui upachara-dhupa, membakar wewangian. Api memiliki kemampuan untuk memperlihatkan bentuk (rupa), ini diungkapkan dalam upachara-dipa, pelambaian pelita suci. Air memiliki potensi Rasa, kenikmatan dan pesona, ini diwujudkan dengan persembahan upachara-naivedya atau makanan. Jadi persembahan-persembahan ini bukan semata seperti memberikan jamuan kepada tamu, melainkan perwujudan dari ide mempersembahkan segala-galanya dalam penyerahan diri secara total kepada Tuhan, Asal dan Tujuan Akhir Segalanya.


Kata Yajna yang umumnya kini diterjemahkan sebagai pengorbanan suci, dalam Veda terutama merujuk pada berbagai bentuk upacara persembahan kepada api suci, seperti menuangkan mentega cair (ghee) dan biji-bijian kedalam tungku menyala yang telah dikonsekrasi. Diyakini bahwa api merupakan gerbang penghubung antara dunia spiritual dengan alam material ini. Api adalah sarana komunikasi yang paling kuat untuk menjembatani keberadaan kita dengan eksistensi kehidupan lain yang lebih luhur. Doa-doa yang dipersembahkan melalui media api akan disampaikan dengan segera, karena api memiliki kemampuan menyelaraskan vibrasi setiap benda, dan mengubah tiap benda dari wujud kasarnya menjadi wujud yang lebih halus. Dalam Veda dinyatakan bahwa Agni, deva yang menguasai api, adalah yang terbawah dari semua deva, dan Vishnu, Tuhan Yang Maha Esa adalah Yang Tertinggi, semua manifestasi rohani lainnya berada di antara kedudukan Agni dan Vishnu. Vishnu Sendiri, Tuhan Tertinggi dipahami sebagai Yajna-purusha, Pribadi dari pengurbanan suci, dan semua persembahan yang dibuat kepada deva atau pujaan yang manapun hanya akan diterima oleh Pribadi Tertinggi Vishnu.

Ritual Dipa-aradhana yang kini merupakan bagian tak terpisahkan dari persembahan-persembahan Tantrika atau Agamika sekali lagi merupakan penerjemahan dari Agni-upashana dalam Veda. Di sini nyala api dipa bukanlah sekedar api bagian dari lima unsur, namun merupakan kobaran api aspirasi rohani yang bersemayam dalam hati umat manusia, dengan lidah-lidahnya yang menjilat-jilat menuju kesempurnaan tertinggi. Apilah yang melambangkan kekekalan di antara yang tak abadi, sebagaimana dinyatakan dalam Veda sebagai wujud Tuhan, deva satu-satunya yang secara nyata berada di atas bumi untuk membantu manusia menggapai keluhuran Tuhan yang Termulia. Melalui upachara-dipa-aradhana yang dipersembahkan menurut aturan-aturan dan ritus Agamasastra, maka seseorang dapat dibebaskan dari kegelapan batinnya dengan terwujudnya cahaya pengetahuan rohani sejati.

yasmat svamahimna sarvan lokan sarvan devan sarvanatmanah sarvani bhutani svatejasa jvalati jvalayati jvalyate jvalayate | savita prasavita dipto dipayan dipyamanah | jvalan jvalita tapan vitapan santapan rocano rocamanah sobhanah sobhamanah kalyanah | tasmaducyate jvalantamiti ||
Karena keagungan Diri-Nya (mahima) dan kecemerlangan-Nya yang tiada bersumber dari apapun lagi (svayam-jyothi), Dia membuat segenap alam, para deva, semua jiva, semua bhuta, bercahaya gilang-gemilang. Dia mencipta dunia dan membuatnya berlipat ganda. Dia bersinar-sinar dan membuat yang lain bersinar terang. Dia Mahagemilang dan membuat yang lain gilang-gemilang. Dialah Dipam, yang bersemayam di dalam Dipam, dan yang membuat Dipam dapat bercahaya terang. Dia memancarkan panas bara dan membuat seluruh alam semesta menderita. Dia memancarkan cahaya dan membuat cahaya dapat memancar. Dialah Mangala-svarupi, sebab dan asal-muasal segala hal yang mujur dan mulia. Dialah Kalyana-purusha, Pribadi yang dipenuhi sifat-sifat luhur tanpa ada bandingan-Nya. Inilah Dia yang disebut Jvalantam, Yang Mahaberkobar!

Mantra dari Sri Nrisimha Uttara Tapini Upanishad ini menekankan aspek dari Sri Bhagavan, Pribadi Tertinggi yang mahabercahaya dan yang tertampak bagi kita. Upanishad-upanishad memuat Aditya-upashana dan Jyothi-upashana, pemujaan kepada Tuhan sebagai inti yang bersemayam dalam bulatan matahari dan cahaya Dipa (Jyothi), sebagai sebuah metode rahasia yang disebut Madhu-vidyaa. Dengan demikian Tuhan adalah Jyothi itu sendiri. Skandopanishad menjelaskannya sebagai sa-eva jyotishamjyothi Cahaya dalam cahaya, Cahaya segala cahaya, senada juga dengan pernyataan Brhad-aranyakopanishad 4.4.16. Jadi dalam mantra ini aspek dari Tuhan Yang Mahacemerlang, yang memancarkan cahaya panas dan kehidupan dimuliakan melalui kata Jvalantam.

Dalam manifestasi alam semesta yang tampak ini, kita haruslah bermeditasi kepada Surya (matahari) dan menginsafinya sebagai Jvalantam Yang Mahasempurna. Chandogya Upanishad membahas panjang lebar mengenai pengetahuan rahasia Madhu-vidyaa tersebut. Oleh karena itu pula dalam Vaishnava-sampradayam kita melaksanakan Sandhyavandanam dan beberapa bahkan juga melakukan Dipa-puja, pemujaan kepada pelita suci. Ini bukan semata pemujaan api, tetapi Dia yang dilihat oleh para Rishi Upanishad sebagai Kalyanam, vyuha rasmin samuha tejah yatte rupam kalyanatamam tatte pasyami (Isopanishad 16).

Chadogya Upanishad 3.13.7 membahas lebih lanjut mengenai Jyothi ini sebagai yang bercahaya di antara kita dalam Rupa atha yadatah paro divo jyotih dipyate visvatah prshtheshu sarvatah prshtheshvanuttameshuttameshu lokeshvidam vava tadyadidamasminnantah purushe jyotih, di atas semua alam kehidupan, di balik segenap Loka, Svayam Jyothi ini bercahaya menguasai semua yang lain. Jvalantam ini berada di mana-mana seperti dinyatakan oleh Mahanarayanopanishad 1.2.2 dan juga oleh Svetasvatara Upanishad 4.2 tadeva agnih tadadityah tat vayuh tad u candramah tadeva sukram tad brahma tat apah tat prajapatih Diri-Nya Sendirilah Agni, Surya, Vayu, Candra, Sukra, Brahma, Apah, dan Prajapati. Dialah Govinda, karena Go juga berarti Jyothi atau nyala, maka Sri Govinda adalah benih sejati, inti yang bersemayam dalam nyala api. Dialah yang ada dalam Jyothi.

Kamis, 05 November 2009

DEVA DAN TUHAN DALAM HINDU

Apakah Deva-deva Hindu adalah sama saja dengan Tuhan? Manakah yang benar, mereka adalah manifestasi Tuhan (jadi tentunya tidak berbeda dengan Tuhan) atau mereka adalah makhluk hidup biasa yang juga diciptakan Tuhan?

Dalam masyarakat Hindu saat ini kita paling tidak memiliki pemahaman konsep ketuhanan yang tergolong bersifat Vedic, Pauranic, Agamic/Tantric, dan Upanisadic-Vedantic. Semuanya hidup bersamaan dalam bentuknya yang telah mapan dalam sistem keyakinan masyarakat Hindu. Walau terdapat perbedaan seperti ini, namun semuanya bersumber dan berdasarkan Veda (baca Sruti).

Nasadiya-sukta dan juga pernyataan terkenal yang selalu dikutip sebagai mahavakya, ekam sat vipra bahudha vadanti, mewakili sesuatu yang kita sebut ketuhanan Vedic. Nama-nama deva yang berbeda adalah merujuk kepada Satu Kebenaran Tertinggi yang Esa. Satu disebut dengan banyak nama. Satu Yang Esa diapresiasi dalam berbagai nama deva yang berjenis-jenis.

Dalam Tantra atau Agama, khususnya Vaishnava-agama, Satu Yang Esa ini diapresiasi dalam lima aspek yaitu Para, Vyuha, Vaibhava, Antaryami, dan Archa. Kemudian dalam Upanisad dan Vedanta-sutra kembali Satu Yang Esa ini dinyatakan sebagai Brahman (transendental impersonal), Paramatma (transendental immanens), dan Ishvara/Bhagavan (transendental personal). Sedangkan pada Purana akan didapatkan Satu Persona Tertinggi (apakah disebut Vishnu, Siva, Devi, dll.) dengan deva-deva atau persona-persona lebih rendah lain sebagai ciptaan dan pelayan-Nya. Cukup membingungkan memang.

Secara khusus menurut pemahaman yang berlaku dalam tradisi Vaishnava, macam-macam nama deva sebagai berbagai gelar untuk Satu Kebenaran Tertinggi adalah “versi Veda”, karena semua Sampradaya Vaishnava mengatakan bahwa Veda hanya berbicara mengenai Kebenaran Mutlak Tertinggi yang Esa itu. Tetapi macam-macam nama deva merujuk pada makhluk-makhluk berbeda yang diciptakan oleh Tuhan dan bertindak sebagai pelayan-pelayan-Nya yang perkasa, ini merupakan “versi Purana”.

Ini bisa dijelaskan apabila kita mempelajari secara teliti Purusa-sukta yang terdapat dalam semua Veda dengan sedikit variasi (Rig Veda Samhita 10.7.90; 1— 6. Taittiriya Aranyaka 3.12.13, Vajasaneyi Samhita 31; 1—6, Sama Veda Samhita 6.4. Atharva Veda 19.6). Pada sukta ini dijelaskan bahwa deva-deva melaksanakan yajna dengan menggunakan Adhi-purusa sebagai bahannya. Dari yajna ini kemudian muncul segala isi alam semesta dan juga deva-deva. Lho bagaimana bisa deva-deva melakukan yajna padahal mereka belum terwujud. Kasarnya, boleh dikatakan belum diciptakan dan belum ada. Apa sukta ini salah?

“Deva pertama” menyatakan berbagai pusat-pusat pengolahan pengetahuan dan kekuatan bertindak (potensial aksi) pada “tubuh alam primordial” yang merupakan pancaran kekuatan kehidupan (prana) dan kesadaran (cit) Tuhan. Dalam hal ini tidak ada beda antara deva dengan Tuhan karena deva menyatakan aspek-aspek Tuhan yang beraneka warna. Inilah yang disebut dengan berbagai jenis nama deva dalam Veda. Selanjutnya ketika “tubuh alam primordial” yang diaktivasi oleh energi Tuhan “melahirkan” manifestasi kosmis, alam beserta segala makhluk yang hidup di dalamnya, terbentuklah berbagai lapisan alam kehidupan. Tubuh alam mewujudkan berbagai bentuk jasmani dan energi Tuhan memproyeksikan kehidupan ke dalamnya. Saat itu pula terwujud pula bentuk-bentuk kehidupan yang sangat maju kesadarannya, yang memiliki kepantasan menampung ekspresi energi Tuhan di alam semesta duniawi. Inilah yang disebut para deva dalam Purana. Mereka adalah makhluk hidup yang diciptakan. Ambil contoh Indra. Dalam Veda, Indra menyatakan Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Pemimpin Tertinggi. Namun dalam Purana, Indra adalah makhluk agung Svargaloka yang terlahir dari Aditi dan Kashyapa sebagai pemimpin dari makhluk-makhluk agung serupa. Indra dalam Veda dipahami berbeda dengan Indra dalam Purana. Agar lebih memahami lagi hal ini, saya menganjurkan untuk mempelajari lagi Krishna Yajurveda Taittiriya-aranyakam anuvaka 23, mantra 90-98. Apa yang dinyatakan dalam Purusa-suktam lebih diperinci lagi dalam Aranyakam ini.

Kesimpulannya apakah deva sama dengan Tuhan? Bila kita bicara dalam konteks Veda, ya. Tapi dalam konteks Purana-Itihasa dan juga keyakinan umum masyarakat, tidak. Purana-Itihasa terutama mewakili pandangan masyarakat secara umum, yang tentu saja akan lebih sederhana dan mudah dipahami. Ini adalah pandangan popular, berbeda dengan Veda yang menghadirkan pandangan kesarjanaan dan filosofis. Dalam pengertian ini, deva-deva Veda dengan Purana berbeda. Lalu mengapa namanya sama? Kenyataan sederhana ini bisa menjawabnya. Venkateshan adalah nama Tuhan Penguasa Seluruh Alam Semesta. Nama saya juga Venkateshan, dan jelas saya bukan Tuhan. Namun nama saya dan juga pribadi saya akan amat sangat bermakna bila saya mampu mewujudkan sifat-sifat rohani Tuhan Venkateshan, walau sebagai makhluk hidup biasa kekurangan saya pasti jauh lebih banyak. Para makhluk hidup ciptaan yang mahaperkasa, yang bersemayam di alam-alam yang memiliki kualitas spiritual lebih tinggi ini juga disebut deva-deva. Mereka mampu mewujudkan kualitas rohani manifestasi Tuhan tertentu di alam semesta ini dengan skala yang besar. Sehingga sebagaimana kita temukan dalam Satapatha Brahmana 6.1.3.9. Suatu pribadi perkasa diciptakan oleh Brahma, lalu dia berkata, “anapahata-papma’ham asmi namani me dhehi, Aku tak luput dari noda dosa, mohon anugerahilah aku sebuah nama”. Saat itu Tuhan Sendiri memberikannya salah satu Nama Beliau Sendiri, yang mewakili kekuatan amarah-Nya. Pribadi itu lalu diberi nama Rudra berikut nama lain yang berjumlah sebelas (kisah serupa juga terdapat di Bhagavatam). Jadi kita bisa melihat bahwa Sri Rudra adalah salah satu nama Sriman Narayana, Tuhan Yang Maha Esa. Ini terbukti dengan adanya stotra bagi Rudra yang justru kita temukan di Mahanarayana Upanishad. Jadi Narayana adalah sama dengan Rudra, itu hanya nama lain Beliau saja, dalam konteks ini. Lalu nama Rudra tersebut dianugerahkan kepada makhluk perkasa yang diciptakan melalui Brahma, yang akhirnya juga terkenal sebagai Deva Rudra. Dalam diri Rudra ini, manifestasi kekuatan amarah dari Sri Narayana yang juga disebut Rudra, mewujudkan dirinya. Namun Rudra yang diciptakan ini adalah makhluk golongan deva yang tidaklah sama dengan Tuhan.

Menurut konteks kalimat dalam bahasa Sanskrit yang sesuai dengan tatabahasa (Vyakarana) dan kosakata (Nirukta), kata deva bisa berarti Tuhan, junjungan, pujaan, dan juga makhluk golongan deva. Istilah yang umum misalnya kita dapatkan pada, varam deva moksham na (hamba tidak menginginkan anugerah moksha sekalipun darimu O Deva!) dan deva ucuh (para deva berkata). Kata penganugerahan moksha tidak bisa dilekatkan pada pribadi selain Tuhan Tertinggi Sri Mukunda (Sang Penganugerah Moksha). Jadi seruan “Deva” di sini hanyalah merujuk kepada Sri Bhagavan Mukundadeva Krishna, Paravasudeva, Sriman Narayana, bukan yang lain. Sedangkan ucuh merupakan bentuk jamak dari uvaca yang berarti berkata. Ini menjadi ada banyak deva-deva yang sedang berkata, atau dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan para deva. Dalam konteks ini kata deva tidak mungkin merujuk kepada Pribadi Tertinggi, karena Beliau adalah tunggal. Mengikuti jejak Srila Prabhupadaji Maharaja, beliau menggunakan terjemahan Inggris demigods untuk menyatakan makhluk-makhluk deva seperti ini dan Godhead, untuk menyatakan Parabrahman, Kebenaran Mutlak Yang Tunggal. Dengan pemahaman menyeluruh semacam ini, yang berdasarkan atas telaah teliti pernyataan-pernyataan Sruti dan juga pemahaman atas Purana, Itihasa, dsb. maka sesungguhnya tidak ada kontroversi antar pernyataan-pernyataan sastra suci kita. Keyakinan dan pandangan yang tampaknya berbeda-beda mengenai kedudukan ontologis deva dalam masyarakat Hindu akan dapat dipahami seluruhnya sebagai suatu kebenaran.

Anda bisa saja menerima atau menolak penjelasan tersebut. Tapi bila tidak demikian, lalu bagaimana kita menjelaskan tradisi Vaishnava, yang dikatakan tidak memuja siapapun selain Vishnu dan menganggap deva lainnya lebih rendah, tetapi sampai hari ini masih melantunkan Aruna Prashnam yang penuh berisi pujian Veda kepada Indra, Pusha, Surya, dll dalam upacara-upacara sucinya. Kita juga harus ingat bahwa Sri Ananteshwara di Udupi, yang kita puja sebagai Tuhan Narayana justru berwujud sebuah Sivalinga. Contoh lain, dalam Sri Brahma-Madhva Sampradaya kita juga memuja Sri Rudra. Kembali contohnya adalah Udupi. Di sana ada Sri Candramaulishwara yang merupakan rupa dari Rudra. Namun puja dipersembahkan kepada Sri Rudranamaka-paramatma yang adalah Sri Sankarsana Bhagavan. Sankarsana Bhagavan tidaklah berbeda dari Sriman Narayana Sendiri. Jadi bukankah kita juga memuja Rudra sebagai salah satu rupa Sriman Narayana? Kita juga memuja Vayu mengucapkan Mukhyaprana-antargata Sri Krishnarpanamastu. “Semoga Sri Krishna yang adalah inti dari Sri Mukhyaprana, napas semesta Vayudeva berkenan menjadi puas oleh persembahan ini”. Kembali di sini Vayu tidaklah berbeda dari Krishna. Namun ada cerita bahwa para deva seperti Vayu, Agni, Indra, tidak dapat mengalahkan Ravana. Apakah Vayu, Agni, dan Indra ini adalah Tuhan? Ini semua menyatakan bahwa Vayu, Agni, Indra yang dimaksud dalam cerita ini tidaklah sama dengan yang dinyatakan dalam Veda sebagai nama-nama lain dari Sang Pribadi Tertinggi. Golongan pertama dijelaskan dalam Veda, sedangkan deva-deva dalam konteks ke dua diulas dalam Purana, Itihasa, dll.

Kenyataan di lapangan akan membuktikan lebih daripada perdebatan atas pernyataan-pernyataan sastra Veda yang memiliki begitu banyak makna. Dharma kita adalah tunggal sekalipun kita harus tetap mempelajari dan meyakini sebaik-baiknya kebenaran tradisi rohani atau sampradayam pilihan masing-masing sesuai dengan karakteristik pribadi (svabhava), kondisi kehidupan (bhumika), dan kualifikasi (adhikara) kita. Karena itu saya hanya menyampaikan apa yang saya ketahui menurut sampradaya saya. Terimakasih banyak

Kamis, 08 Oktober 2009

How could we develop divine qualities?

Some may think about learn it from books, joining personality class, etc. But this was not approved by shastras. Even if we can train our self with so much difficulties and great endeavor, still it need more time and many things could happen in the course. That if we talk only about mere good qualities, but what about divine qualities of bhakti? They are more difficult to obtain. Need thousands of life time.

But anyway we have to somehow attain perfection or siddhi. What is the need to performing various sadhanas (spiritual practices), tapasya (austerities), etc. if we couldn’t gain anything? What is the need of hard sadhanas without even any trace of hope to attain the sadhya (goal)? But our shastras said by sat-sanga, pure association, we can get all siddhi, all perfections. Yes, most of us already know this. “I think I have sat-sanga with many sadhus…, but nothing happened.” How could our shastras be wrong?

The only fault was in our side. We think we have sadhus-sanga, but actually we just do some “human social conducts”. The shastras said Lava-matra, that’s mean 1/11 second, of association with a sadhu will give us all perfections. We stay near a great pure devotee of The Lord 24 hours a day for more than 10 years, but nothing happened. Did we really perform sat-sanga? Mostly not. Even if Sri Bhagavan Himself, as Antaryami, was there 24 hours a day, as long as we live in this body, still we couldn’t develop any single divine qualities. Didn’t Sri Bhagavan is ananta-kalyanaika-gunanidhi, the ocean of unlimited divine qualities? The Bhagavatas are abode of Sri Bhagavan, He stay in the core of their heart, that’s why a pure devotee verily a manifestation of Bhagavan’s mercy and also embodiment of all kalyana-gunas (kalyana-guna sad-dhama). But shastras, as we cited earlier, also said that Sri Bhagavan appear as Antaryami for all beings. Didn’t all of us always get His association uninterruptedly? Why we still get no perfection?

The Bhagavatas realized the presence of Bhagavan but we didn’t. Though Bhagavan is standing near us, still we can’t recognize Him. The revered Bhagavatas are in constant sanga with Bhagavan, since they accept; realize His divine presence, thus relishing His divine qualities. Sri Bhagavan was fully revealed to Bhagavatas, His divine presence with indescribable beauties and transcendental glories, was perfectly illumined the Bhagavatas from head to toe. They were immersed in divinity.

Similarly, though we happened to stay near a Bhagavata, but if we couldn’t recognize him/her, what is the use? There is no real sanga at all. We didn’t see a great pure devotee of the Lord, shining with His glories, and abode of Love of Godhead. We saw outwardly, an old man need some help or an ignorant young boy, but never a Sadhu-bhagavata. Accordingly, we will get an association of old man or child, but never association of a sadhu.

Then our personality was formed by outward judgments. We would find faults, discrepancies, errors, etc. After that we will become full of faults, full of discrepancies, and full of error. Why we can’t see the real form of Bhagavatas? Because we still have prides, jealousy, and the worst of all, matsarya, envious heart. We didn’t want to see any goodness in any person. “Yes, you can do that, but I can do better” or “Yes, maybe you good in that, but certainly you can’t do my expertise”. By thinking like this, though in a pond there are golden pebbles, but we will see only mud. Why? We are only looking for mud. Not gold.

We didn’t feel any joy in seeing others’ perfection. In material ground, if we see a richer person, more good looking friend, more smarter… then we want to compete him/her. We become morose when someone is better than us. We try to defeat them or we try to find fault with them. Certainly, we will find some faults. But they will give us impression in our mind and heart. Faulty impression… then we become worst, since anything begin from mind.

In spiritual ground maybe we could always think positively toward a Sadhu-bhagavata. But here the association has more sublime divine form. Gita said pranipata, surrender, and seva, serve. In real sat-sanga there are acts of surrender, prapatthi or saranagati, and service. We approach a Bhagavata and get his sanga, that’s mean we surrendered our self to the Bhagavata and do seva, serve him. But in fact we come to Bhagavata with special personal interest. To gain something from him. We are not serving but trying to enjoy Bhagavata. We are not Sevi but a Bhogi. Then Sri Bhagavan will cover the Bhagavata and cheats us by put a merchant there. What is the meaning? Let we take an example. “I shall serve this Bhagavata, since I know just by serve him I would become great too. I will get perfection if he pleased by my service. I shall become Bhagavata myself…” Sri Bhagavan could understand this intention and so did the Bhagavata. Then the Bhagavata would say, “I’m pleased with your service. May you become great!” We think this is a pure blessing from Bhagavata and Bhagavan, but how could be something pure was bestowed to us, if our service was tainted by egoistic intention? It could not be pure loving devotional service. This is vanik-vrutti, merchant tendencies, a transaction. But Sri Bhagavan and his pure devotee weren’t cheater. They will give us a fair transaction. Didn’t we get that words, “I’m pleased with your service. May you become great!”, from Bhagavata’s lotus lips as we always hankering for? Then many people will begin to recognize us. “This person is a Mahant. He got benediction from Bhagavata. Sri Bhagavan certainly was pleased with him”. Then they will fall under our feet. “Pranam Mahant! Dandavat!” We will become a great man, very important person. Did we really get our goal? Yes. Our goal, but not the real goal of life, sat-prayojana. We get what we want, but it could be real divine qualities or not. All was depending on us alone…

Rabu, 07 Oktober 2009

KENAPA KRISHNA TIDAK BUAT SEMUA ORANG SAJA JADI PENYEMBAHNYA?

Srila Venkatanatha Acharya atau Sri Vedanta Desika menyatakan bahwa segala bentuk kebahagiaan dan kenikmatan duniawi, serta semua tujuan yang bersifat duniawi memiliki tujuh kelemahan yang disebut Sapta-dosha.
1. Alpa – hasil akhir dari semuanya bersifat palsu
2. Asthira – hanya bertahan sekejap dan sangat sementara
3. Asukara – tidak mudah diperoleh, butuh banyak usaha dan menghabiskan banyak waktu
4. Asukhavasana – akhirnya hanyalah dukacita dan kekecewaan
5. Dukhanvita – bahkan juga selalu diikuti oleh ketidakpuasan dan hanya didukung oleh perjuangan
6. Anucitam – tidak sesuai dengan keberadaan kita yang sejati
7. Abhimana-mulam – didasari atas rasa ke-aku-an yang palsu dan mengarah kepada semakin berlanjutnya rasa jati diri yang khayal

Dharma atau jalan hidup rohani sejati, memberikan makna yang sesungguhnya dan juga arti tertinggi bagi hidup ini. Keputusan untuk berusaha memahami atau memilih jalan rohani biasanya berasal dari ketidakpuasan kita atas segala kekurangan dan kelemahan dalam hidup yang kita jalani. Namun pertanyaannya mengapa seseorang yang kita lihat sama menderita dan tidak puasnya dengan diri kita, atau juga bahkan lebih menderita dari kita, justru sama sekali tidak berusaha untuk memahami Dharma? Mengapa seseorang bisa hidup nyaman di tengah penderitaannya?

Itu karena dia, jiva yang terperangkap dalam tubuh duniawi, sepenuhnya berada dalam khayalan. Ini merupakan keadaan alamiah semua jivatma terikat yang berada di manifestasi alam semesta fana. Jadi sebenarnya semua makhluk di alam ini mengalami kebingungan atau menjalani hidup dalam keadaan tertipu yang sama. Dengan demikian adalah alamiah bila mereka terperangkap dalam konsep jati diri yang salah, hidup dalam keadaan yang tidak sebenarnya, dan berusaha menggapai tujuan yang bukan seharusnya.

Jivatma pada dasarnya penuh kebahagiaan. Karena itu semua makhluk hidup selalu menginginkan kebahagiaan. Tetapi karena semuanya berdasarkan atas konsep pemahaman yang salah atau tidak seharusnya, maka mereka menganggap keberhasilan duniawi yang ternoda oleh Sapta-dosha sebagai tujuan utamanya.

Di sisi lain, jivatma merupakan bagian dari Tuhan Sendiri. Jivatma bersumber dari Tuhan dan jati diri sejatinya adalah berhubungan dengan Tuhan. Sekalipun kebahagiaan (anandam) merupakan karakteristik sejati dari jivatma, namun ketika dia terpisahkan dari Krishna, kebahagiaan sejati ini tidak terwujud dan tidak bisa dirasakan secara sempurna oleh jiva. Srimad Pillai Lokacharya mencontohkan bahwa salah satu hubungan jiva dengan Krishna dijelaskan sebagai sesha-seshi sambandham, artinya Krishna adalah Sang Pemilik (seshi) dan jiva adalah milik-Nya (sesha). Kepemilikan di sini bukan seperti hak milik terhadap benda-benda yang terpisah, seperti kita dengan sepeda motor kita contohnya. Tapi milik yang sangat berharga dan disayangi seperti tubuh ini. Tangan, kaki, mata, semua sangat berharga bagi kita. Semua adalah bagian dari tubuh ini. Hubungan seperti itu juga dipahami sebagai sharira-shariri sambandham, seperti badan (sharira) ini dengan pemilik dari badan ini (shariri) yaitu kita. Tentu saja kita menerima ini sebagai perumpamaan, sesuai keadaan kita saat ini, karena kita juga diajari bahwa sang diri sejati bukanlah badan. Tapi perumpamaan itu cuma untuk mempermudah pemahaman saja. Oleh hubungan yang begitu akrab ini, Krishna menganggap bahwa semua jiva adalah milik yang sangat dicintai-Nya. Ketika milik-Nya yang sangat berharga ini berpisah dengan Beliau dan mengalami begitu banyak penderitaan tanpa mampu merasakan kebahagiaan sejati sama sekali, maka dengan segala cara Beliau berusaha untuk membuat mereka kembali berkumpul bersama-Nya.

Krishna sebagai Tuhan Yang Maha Esa dikenal sebagai ananta-kalyana-guna-nidhim, samudera sifat-sifat rohani yang tiada batasnya. Salah satu divya-gunam terpenting yang ada pada Krishna adalah Daya atau Kripa, yaitu Maha-welas asih. Belas kasih Krishna tidak terbatas seperti lautan. Beliau adalah Daya-nidhim, samudera belas kasih. Oleh karena itu sedikit saja ada pelayanan (kainkaryam) yang dilakukan oleh jiva. Setitik saja, bahkan tanpa diketahui atau disengaja oleh jiva, maka ini akan segera menggerakkan Krishna untuk mencurahkan Daya-Nya. Ini disebut ajnata-sukritham atau ajnata-bhakti-sukrithi.

Semua hubungan kita pada Krishna berdasarkan atas CINTA. Dalam cinta hanya ada kerelaan, keikhlasan, tidak ada paksaan. Karena itu Krishna tidak memaksa jiva untuk datang mencintai Beliau, sekalipun Beliau tahu jiva adalah milik-Nya yang paling berharga, dan dia hanya akan bisa berbahagia bila berada bersama Beliau. Cinta ini hanya bisa tumbuh oleh cinta juga. Ini bukan perdagangan. Itu sebabnya jiva hanya bisa datang kepada Krishna, juga hanya melalui karya-karya dalam cinta. Segala jenis perbuatan bajik, kedermawanan, atau aktivitas keagamaan seperti melakukan pertapaan, sumpah hidup suci, dsb. tidak bisa membawa kita kepada Krishna. Hanya aktivitas dalam cinta rohani atau bhakti (divya kainkaryam), yang bisa membawa kita kepada Beliau. Contoh dari aktivitas bhakti ini ada banyak sekali sebagaimana disebutkan dalam berbagai bhakti-sastra. Tapi mudahnya saya coba golongkan jadi dua, yaitu berhubungan dengan Krishna secara langsung dan berhubungan dengan para Vaishnava-Mahabhagavata, penyembah murni yang sejati. Contoh kainkarya pertama adalah misalnya mempersembahkan puspanjali, bunga pada kaki padma Srimurti atau Archa Krishna. Contoh yang kedua misalnya memberikan tempat berteduh kepada Vaishnava-Bhagavata saat hujan atau panas terik.

Dalam salah satu kehidupan dari jiva, anggaplah misalnya dia lahir sebagai petani. Di sawahnya dia membangun sekedar pondok berteduh untuk menjaga padi dari burung, lalu di dekat pondok itu dia menanam sebatang pohon bunga, jepun (kamboja) misalnya, untuk senang-senang saja. Kedua jenis kainkarya di atas lalu akan saya gabung saja contohnya, supaya ada bayangan. Suatu ketika seorang Vaishnava-Bhagavata lewat di tempat itu, karena panas terik beliau lalu berteduh di pondok si petani. Bersama Bhagavata ini juga ada sebuah salagrama-sila atau Archa Krishna yang beliau puja. Waktu sudah siang dan Bhagavata ini ingin melakukan persembahan kepada sila atau Archanya, lalu beliau memetik beberapa bunga dari pohon jepun yang ditanam petani itu. Seketika itu juga Krishna, karena Beliau adalah Maha-berbelas kasih, parama-dayalu, menemukan alasan untuk mencurahkan karunia-Nya yang dikenal sebagai prasada. Prasada adalah aliran karunia berbentuk nyata yang dapat membawa jiva kembali kepada-Nya.
Krishna menganggap petani itu sengaja membangun sebuah pondok untuk tempat berteduh sadhu-bhagavata, maka ini menjadi bhakti-kainkaryam. Lalu Krishna juga menganggap petani itu sengaja menanam pohon jepun demi menyediakan bunga untuk keperluan puja kepada Archa Beliau, ini juga menjadi bhakti-kainkaryam. Walaupun sebenarnya bukan itu maksud si petani, bahkan dia juga tidak tahu ada sadhu-bhagavata berteduh di pondoknya dan memetik bunganya. Tetapi Krishna tetap menghitungnya sebagai bhakti-kainkaryam. Jasa rohani yang muncul dari kainkaryam ini disebut ajnata-sukritham. Ajnata-sukritham sudah cukup untuk membuat Krishna mengubah Daya yang ada dalam Hati Beliau menjadi Prasada. Hanyalah melalui Vaishnava-sadhu-mahabhagavata dan aktivitas bhakti tanpa noda motivasi duniawi ini saja, Prasada dari Krishna dianugerahkan kepada jiva.

Ajnata-sukritham
kemudian akan tumbuh menjadi apa yang kita sebut sraddha, keyakinan rohani terhadap Dharma. Sraddha ini menjadi dasar untuk tahap selanjutnya dari bhakti. Sri Krishna sebagai Paramatma kemudian mengarahkan jivatma ini, apakah dalam hidup saat itu juga, atau dalam hidup selanjutnya, sehingga dapat bertemu lagi dengan seorang sadhu-bhagavata secara pribadi ataukah melalui ajarannya, yang kemudian akan membawa dia selanjutnya bergerak terus agar dapat berkumpul lagi dengan Parambrahman Bhagavan Sri Krishna. Saat itu jugalah, jiva secara tulus dan murni akan mulai bertanya mengenai jati diri sejatinya, apa tujuan dari kehidupan ini, dan bagaimana dia bisa mencapai kebahagiaan sejati yang mahakekal. Paramatma, Tuhan yang bersemayam dalam hati semua jiva, mengetahui segala sesuatu yang ada dalam sang jiva, apa kehendaknya, apa yang diinginkannya, apa tujuannya. Paramatma kemudian mengarahkannya pada jawaban yang diinginkannya. Ketulusan dan kemurnian dalam mencari jawaban ini, membawanya lebih lanjut untuk lebih memahami diri sejatinya dan sifat sejatinya, lalu menentukan bagaimana posisinya dalam kehidupan di masyarakat dan peranannya di alam semesta ini.

Minggu, 27 September 2009

Pemujaan Krishna?

TRADISI PEMUJAAN SRI KRISHNA (VERSI GOUDIYA) DALAM VEDA DAN TANTRA

Upasana adalah metode yang dilaksanakan oleh seorang aspiran rohani dalam proses mencapai Tuhan Pujaannya. Upasana dalam Agamasastram atau Tantrasastram terutama dianjurkan pada jaman Kali ini, karena jalan Tantra memungkinkan seseorang mencapai kesempurnaan dengan cepat, dalam satu tubuh dan satu kehidupan saja. Salah satu sastra suci Agamika (atau Tantrika) terpenting dalam Sri Goudiya Vaishnava adalah Pancamodhyaya Sri Brahma Samhita (PSBS). Bersama dengan Sri Krishna Karnamrutam dari Sri Lilasukha (Bilvamangala) sastra ini dibawa oleh Bhagavan Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu dari India Selatan. Sekalipun sastra suci ini boleh dikatakan eksklusif Goudiya, namun isinya menunjukkan keunikan dan peran yang sangat penting dalam tradisi Bhakti secara keseluruhan. PSBS memuat uraian mengenai kemuliaan Svayam Bhagavan Sri Govindadeva, pujaan utama dalam tradisi Sri Goudiya dan sekaligus salah satu Ista-deva yang paling banyak dianut oleh para pengikut Veda, terutama oleh mereka yang mengikuti jalan Bhakti. Kita semua mengetahui bahwa pemujaan Sri Krishna atau Bhagavan Govindadeva adalah termasuk yang “terfavorit” dalam masyarakat penganut Veda-dharma saat ini. Bagi mereka, dalam PSBS dapat ditemukan sekumpulan besar sastra-pramana dari berbagai Vaishnava-sastra, termasuk pula dari Empat Veda Utama, Smruti, Purana, dan Bhagavata. PSBS juga memberikan petunjuk upasana, yang khas dalam sastra-sastra Tantra, seperti metode meditasi mantra, visualisasi, pelukisan yantra-mandala, dan puja. Sedangkan secara khusus boleh dikatakan bahwa upasana yang diterapkan dalam silsilah Sri Goudiya tiada lain adalah upasana yang diuraikan oleh PSBS.

Saya pribadi melihat PSBS sebagai pintu utama untuk merunut sumber asli pemujaan Sri Krishna dalam Veda, khususnya Sruti-sastra. Sejarawan berpikir bahwa pemujaan kepada Sri Krishna dan upasana kepada Beliau sebagai Pribadi Tertinggi dengan Wujud (rupa), Nama, Sifat-sifat rohani (gunam), dan kegiatan sukacita rohani-Nya (lila), hanya dimulai pada awal c.e. (Masehi). Secara arkeologis, pemujaan Sri Krishna paling tidak telah memiliki pengikut yang besar dan well-established pada abad ke-2 b.c.e. Seorang duta besar dari raja Yunani Antialkhidas untuk raja Kashiputra Bhagabhadra di India, yang bernama Heliodorus adalah seorang pemuja Sri Krishna. Ini sekaligus menepis tuduhan orang yang mengatakan bahwa pemujaan Sri Krishna dalam masyarakat Hindu atau kemunculan tokoh Krishna merupakan adopsi dari ajaran Kristen ditambah pengaruh monotheisme Islam. Walau demikian, ini tidak menjelaskan hubungan pemujaan Sri Krishna dengan sumber Veda-sruti yang asli. Dengan demikian asumsi kita selama ini adalah Sri Krishna dan pemujaan kepada-Nya sebagai Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa (Svayam Bhagavan) adalah produk keagamaan post Sruti. Sri Krishna adalah Tuhan dari Smruti, Itihasa, dan Purana, bukan Tuhan dalam Sruti atau Upanishad. Paling jauh Sri Krishna adalah Tuhan post Mahabharata, karena di sanalah Krishna muncul sebagai tokoh penting, dan di sanalah terdapat Bhagavad-gita, sabda Sri Krishna yang memiliki kemungkinan sebagai “biang keladi” terciptanya kultus terhadap Sri Krishna yang mengagumkan itu. Jadi tidak mungkin ada pemujaan Sri Krishna sebelum lahirnya “Sri Krishna historis”. Kesimpulan demikian hanya bisa diterapkan apabila kita menganut kesejarahan dengan sistem waktu linear seperti agama-agama Abrahamik, agama berpusat sejarah. Sedangkan sistem waktu yang kita anut dalam Veda adalah siklik dan Veda-sruti berada dalam kekekalan yang melampaui sang waktu.

Tantra juga disebut Agama, “yang datang mengikuti”, mengikuti Nigama atau Sruti-sastra. Veda, terutama Sruti, disebut Nigama, “yang memancar”, karena diyakini sebagai pengetahuan kekal yang memancar langsung sebagai emenasi napas Brahman. Logikanya, apapun yang ada dalam Agama, pasti ada sumbernya dalam Nigama. Sebagai contoh, konsep emenasi Vyuha dalam Pancaratra Agama dapat dirunut sumbernya pada Purusha-sukta dalam Sruti. Lebih lanjut, Purusha-sukta adalah dasar dari semua cabang Vaishnava-agama berikutnya. Purusha-sukta ini terdapat dalam semua bagian Sruti yaitu pada Rg-vedam Mandala ke-10 sukta 90, Sukla Yajur Veda Vajasaneya Samhita 31.1.16, Krishna Yajur-vedam Taittiriya Aranyakam 3.12. 13, Saama-vedam 4.3, dan Atharvana-vedam 19.6.3. Inilah satu-satunya Sukta yang ada pada semua Sruti dan dimuliakan oleh semua denominasi pengikut Veda. Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan mulai mantra 1 sebagai Sahasrasirshapurusha atau Adipurusha. Inilah Tuhan dalam Sruti yang dipuja pertama kali oleh Hiranyagarbhan melalui Sarvahuta-yajna. Dalam tradisi Vaishnava, Tuhan Tertinggi ini lalu diungkapkan lebih lanjut dalam Narayana-sukta yang diawali juga oleh mantra yang sama (sahasrasirshapurushah vishvaksham vishvasambhuvam vishvamnarayanam devam…). Lalu di manakah Krishna?

Setelah menjelaskan mengenai Adipurusha sebagai Tuhan Tertinggi, keempat Sruti lalu menguraikan identitas-Nya sebagai sumber segala-galanya melalui mantra-mantra berikutnya dalam Purusha-sukta seperti purushah evedam sarvam…(Adipurusha adalah semuanya ini), …tatha vishvam vyakramat… (Adipurusha meresapi segalanya), …tasmadviradajayata… (melalui Adipurusha lahirlah Virat-Unsur Primordial), dst. “Peta” menuju Brahman atau Kebenaran Mutlak Tertinggi ini lalu berlanjut ke bagian selanjutnya dari Sruti yaitu Upanishad. Muktikopanishad memuat daftar 108 Upanishad yang diawali oleh Isavashya. Isavashya Upanishad dengan jelas menunjukkan kesinambungan ide mengenai Kebenaran Tertinggi Adipurusha ini dengan mantra pertamanya, …isavashyamidamsarvam… (Isham adalah semuanya ini) yang senada dengan Purusha-sukta. Dari sini dimulailah “petualangan” menembus Brahma-vidya atau ilmu pengetahuan mengenai Brahman, yang juga disebut parama-jnanam. Di sini kita akan memasuki belantara pengetahuan yang sangat dalam, yang hanya dapat dipahami melalui kemurahan hati dan belas kasih sang guru sejati (sad-acharyar), sang pelihat kebenaran (tattva-darshi), yang mengijinkan kita duduk dekat kakinya demi menemukan Parabrahman, Sang Adipurusha. Pembimbing lainnya adalah prinsip logika yang disebut sarva-sakha-pratyaya-nyaya, memandang keseluruhan pernyataan Veda sebagai kebenaran yang bebas dari segala noda dengan satu kesatuan pendapat yang bebas kontradiksi.

Sebelumnya kita menemukan bahwa Adipurusha Yang Maha Esa adalah sumber segalanya, kini kita bertemu dengan pernyataan seperti dalam Taittiriya Upanishad dan Chandogya Upanishad ini, “Aku Esa! Jadilah Aku banyak! (eko’ham bahu syam)”. Topik Upanishad adalah seputar ini. Tentang Ekam (Yang Esa) dan Aham (Sang Aku). Aham di sini merujuk kepada Adipurusha, yang dari Ekam (Satu) dengan keinginan-Nya saja lalu menjadi Bahu (banyak), menjadi segala-galanya (vishvam-sarvam). Aham inilah yang disebut pula sebagai Tat Sat, Parabrahman, dan OM. Siapakah Aham, Ekam, Tat Sat, Parabrahman, dan OM ini? Satu Upanishad diungkapkan oleh Durvasha Maharishi sebagai “pelihat” yaitu Sri Gopala Tapaniya Upanishad (SGTU).

Apakah keunikan Upanishad ini? SGTU diuraikan oleh Hiranyagarbhan, sebagai yang juga telah mengungkapkan Sang Adipurusha melalui Purusha Sukta dan menempatkannya dalam keempat Veda-sruti sebagai mahkota mereka. Dalam SGTU para deva yang sebelumnya tercipta melalui Sarvahuta-yajna yang dilakukan Hiranyagarbhan bertanya kepadanya, “Siapakah Adipurusha? Siapakah yang bahkan membuat kematian merasa gentar? Siapakah yang dengan mengetahui-Nya maka segalanya akan diketahui? Siapakah yang menjadi sumber pencipta dunia ini?”

Hiranyagarbhan lalu mengungkapkan hal ini kepada mereka semua. “Krishna adalah Adipurusha. Kematian takut pada Govinda. Dengan mengetahui Gopijanavallabha segalanya diketahui. Dengan mengucapkan kata Svaha, Sang Adipurusha menciptakan segenap alam ini.” Lalu para deva dan rishi bertanya lagi, “Siapakah Krishna? Siapa Govinda? Siapa Gopijanavallabha? Apakah Svaha?” Hiranyagarbhan melanjutkan, “Krishna adalah Dia yang membebaskan dari segala dosa. Govinda adalah Dia yang termashyur di seluruh alam semesta ini, dalam semua Veda, dan di antara para sapi Surabhi yang memenuhi segala keinginan. Gopijanavallabha adalah Dia yang menawan dan mempesona para gopika, dan Svaha adalah kekuatan dari Yang Mahatinggi. Semua nama ini merujuk kepada Adipurusha, Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa.” Purusha Sukta menjelaskan bagaimana Hiranyagarbhan melaksanakan Sarvahuta-yajna dengan dirinya sebagai korban persembahan. Selanjutnya segenap alam semesta beserta semua devata pengendalinya tercipta dari yajna ini. Untuk seterusnya, semua yajna Veda harus dilaksanakan dengan mengucapkan mantra-mantra Purusha Sukta. Lalu mantra apakah yang digunakan Hiranyagarbhan untuk mempersembahkan Sarvahuta-yajna di awal penciptaan? Inilah yang diungkapkan dalam SGTU, yaitu mantra yang mengandung nama Krishna, Govinda, Gopijanavallabha, dan Svaha. Dalam Tantra atau Agama ini adalah mantra untuk Sri Krishna Upasana yang disebut Sri Gopala Mantra. Mantra paling rahasia dan paling kuat dalam Vaishnava Tantra. Dengan ini tampaklah sumber Nigama atau Sruti-sastra dari pemujaan Krishna atau Sri Krishna Upasana.

Hiranyagarbhan dalam SGTU juga berkata, “Aku selalu memuliakan Sang Adipurusha dan memusatkan pikiran kepada-Nya dalam tapa selama berjuta-juta tahun dan pada akhirnya aku dapat menginsafi wujud rohani-Nya yang asli, apasya gopam anipadya nama, aku melihat Sosok Seorang Anak Gembala. Dengan cintakasih memenuhi hatiku, aku bersujud di hadapan-Nya. Dia memberiku mantra delapanbelas aksara (Sri Gopala Mantra) untuk digunakan dalam penciptaan, dan setelahnya Dia lalu menghilang.” Inilah Sruti mengenai Sri Gopala Mantra dan Sri Krishna Upasana. Lalu berbagai Tantrasastra juga menjelaskan Mantra-upasana-nya seperti dalam Narada Pancaratra, Sanat-kumara Samhita, Ahirbudhnya Samhita, dsb. Dalam garis silsilah pewarisan ajaran Sri Goudiya diberikan inisiasi (diksha) ke dalam Sri Gopala Mantra delapanbelas aksara ini berikut upadesha (instruksi-instruksi rahasia)-nya yang harus dimohonkan dari Sad-acharyar. PSBS secara khusus adalah petunjuk dan pedoman untuk melaksakan Upasana Mantra ini.

PSBS dimulai dengan kata ishvarah paramah krishnah. Kata Ishvaram atau Isham juga merujuk pada bagian Upanishad dari Sruti. Ini bisa berperan sebagai sejenis indeks. Makna yang tersirat adalah kini kita akan membicarakan Dia yang diuraikan oleh yang dimulai dari kata Isham yaitu semua Upanishad diawali oleh Isavashya. Paramam juga bisa menjadi indeks untuk berbagai Sukta yang memuliakan Adipurusha atau Paramapurusha dalam Veda. Krishna, selain merupakan Nama Tuhan secara langsung, juga menyatakan Mantra. Seluruh PSBS adalah pengejawantahan dari makna Purusha Sukta yang adalah puncak semua Sruti (Nigama) dan penjelasan mendalam mengenai Sri Gopala Mantra delapanbelas aksara yang adalah permata dalam Tantra (Agama).

Jadi Sri Krishna dan Upasana-Nya dijelaskan dalam Sruti-sastra, yaitu pada Sri Gopala Tapaniya Upanishad bagian dari Atharva-veda. Pada bagian Sruti yang lain, yaitu pada 108 Upanishad yang dinyatakan oleh Muktikopanishad juga terdapat Sri Krishna Upanishad dan Kalisantarana Upanishad (Krishna Yajur-veda) yang secara nyata mengungkapkan Sri Krishna. Beberapa pernyataan esoterik dalam Sruti seperti ...raso vai sah... dan ...shavalacchyamam prapadye shyamacchavalam prapadye... menurut para Purva-acharyar juga merujuk kepada Sri Krishna dan Upasana-Nya. Sedangkan dalam Tantra, khususnya Vaishnava Tantra atau Pancharatra-agama, sangat jelas dinyatakan bahwa Tuhan Tertinggi yang mengungkapkan Nigama dan Agama kepada Brahma adalah Sri Krishna. Silakan baca contohnya di http://dharmadvar.blogspot.com/2009/06/narada-pancaratra.html Dengan demikian dipahami bahwa Sri Krishna dan Upasana kepada-Nya berakar kuat baik dalam tradisi Vaidika maupun Tantrika. Sri Brahma Samhita merupakan kitab yang tergolong Agamatantra, dan mendasari praktik spiritual yang utamanya dilaksanakan oleh golongan Goudiya Vaishnava, serta segera menjadi "khas Goudiya". Walau demikian bentuk awalnya juga sudah terdapat pada tradisi Sruti.