Kamis, 08 Oktober 2009

How could we develop divine qualities?

Some may think about learn it from books, joining personality class, etc. But this was not approved by shastras. Even if we can train our self with so much difficulties and great endeavor, still it need more time and many things could happen in the course. That if we talk only about mere good qualities, but what about divine qualities of bhakti? They are more difficult to obtain. Need thousands of life time.

But anyway we have to somehow attain perfection or siddhi. What is the need to performing various sadhanas (spiritual practices), tapasya (austerities), etc. if we couldn’t gain anything? What is the need of hard sadhanas without even any trace of hope to attain the sadhya (goal)? But our shastras said by sat-sanga, pure association, we can get all siddhi, all perfections. Yes, most of us already know this. “I think I have sat-sanga with many sadhus…, but nothing happened.” How could our shastras be wrong?

The only fault was in our side. We think we have sadhus-sanga, but actually we just do some “human social conducts”. The shastras said Lava-matra, that’s mean 1/11 second, of association with a sadhu will give us all perfections. We stay near a great pure devotee of The Lord 24 hours a day for more than 10 years, but nothing happened. Did we really perform sat-sanga? Mostly not. Even if Sri Bhagavan Himself, as Antaryami, was there 24 hours a day, as long as we live in this body, still we couldn’t develop any single divine qualities. Didn’t Sri Bhagavan is ananta-kalyanaika-gunanidhi, the ocean of unlimited divine qualities? The Bhagavatas are abode of Sri Bhagavan, He stay in the core of their heart, that’s why a pure devotee verily a manifestation of Bhagavan’s mercy and also embodiment of all kalyana-gunas (kalyana-guna sad-dhama). But shastras, as we cited earlier, also said that Sri Bhagavan appear as Antaryami for all beings. Didn’t all of us always get His association uninterruptedly? Why we still get no perfection?

The Bhagavatas realized the presence of Bhagavan but we didn’t. Though Bhagavan is standing near us, still we can’t recognize Him. The revered Bhagavatas are in constant sanga with Bhagavan, since they accept; realize His divine presence, thus relishing His divine qualities. Sri Bhagavan was fully revealed to Bhagavatas, His divine presence with indescribable beauties and transcendental glories, was perfectly illumined the Bhagavatas from head to toe. They were immersed in divinity.

Similarly, though we happened to stay near a Bhagavata, but if we couldn’t recognize him/her, what is the use? There is no real sanga at all. We didn’t see a great pure devotee of the Lord, shining with His glories, and abode of Love of Godhead. We saw outwardly, an old man need some help or an ignorant young boy, but never a Sadhu-bhagavata. Accordingly, we will get an association of old man or child, but never association of a sadhu.

Then our personality was formed by outward judgments. We would find faults, discrepancies, errors, etc. After that we will become full of faults, full of discrepancies, and full of error. Why we can’t see the real form of Bhagavatas? Because we still have prides, jealousy, and the worst of all, matsarya, envious heart. We didn’t want to see any goodness in any person. “Yes, you can do that, but I can do better” or “Yes, maybe you good in that, but certainly you can’t do my expertise”. By thinking like this, though in a pond there are golden pebbles, but we will see only mud. Why? We are only looking for mud. Not gold.

We didn’t feel any joy in seeing others’ perfection. In material ground, if we see a richer person, more good looking friend, more smarter… then we want to compete him/her. We become morose when someone is better than us. We try to defeat them or we try to find fault with them. Certainly, we will find some faults. But they will give us impression in our mind and heart. Faulty impression… then we become worst, since anything begin from mind.

In spiritual ground maybe we could always think positively toward a Sadhu-bhagavata. But here the association has more sublime divine form. Gita said pranipata, surrender, and seva, serve. In real sat-sanga there are acts of surrender, prapatthi or saranagati, and service. We approach a Bhagavata and get his sanga, that’s mean we surrendered our self to the Bhagavata and do seva, serve him. But in fact we come to Bhagavata with special personal interest. To gain something from him. We are not serving but trying to enjoy Bhagavata. We are not Sevi but a Bhogi. Then Sri Bhagavan will cover the Bhagavata and cheats us by put a merchant there. What is the meaning? Let we take an example. “I shall serve this Bhagavata, since I know just by serve him I would become great too. I will get perfection if he pleased by my service. I shall become Bhagavata myself…” Sri Bhagavan could understand this intention and so did the Bhagavata. Then the Bhagavata would say, “I’m pleased with your service. May you become great!” We think this is a pure blessing from Bhagavata and Bhagavan, but how could be something pure was bestowed to us, if our service was tainted by egoistic intention? It could not be pure loving devotional service. This is vanik-vrutti, merchant tendencies, a transaction. But Sri Bhagavan and his pure devotee weren’t cheater. They will give us a fair transaction. Didn’t we get that words, “I’m pleased with your service. May you become great!”, from Bhagavata’s lotus lips as we always hankering for? Then many people will begin to recognize us. “This person is a Mahant. He got benediction from Bhagavata. Sri Bhagavan certainly was pleased with him”. Then they will fall under our feet. “Pranam Mahant! Dandavat!” We will become a great man, very important person. Did we really get our goal? Yes. Our goal, but not the real goal of life, sat-prayojana. We get what we want, but it could be real divine qualities or not. All was depending on us alone…

Rabu, 07 Oktober 2009

KENAPA KRISHNA TIDAK BUAT SEMUA ORANG SAJA JADI PENYEMBAHNYA?

Srila Venkatanatha Acharya atau Sri Vedanta Desika menyatakan bahwa segala bentuk kebahagiaan dan kenikmatan duniawi, serta semua tujuan yang bersifat duniawi memiliki tujuh kelemahan yang disebut Sapta-dosha.
1. Alpa – hasil akhir dari semuanya bersifat palsu
2. Asthira – hanya bertahan sekejap dan sangat sementara
3. Asukara – tidak mudah diperoleh, butuh banyak usaha dan menghabiskan banyak waktu
4. Asukhavasana – akhirnya hanyalah dukacita dan kekecewaan
5. Dukhanvita – bahkan juga selalu diikuti oleh ketidakpuasan dan hanya didukung oleh perjuangan
6. Anucitam – tidak sesuai dengan keberadaan kita yang sejati
7. Abhimana-mulam – didasari atas rasa ke-aku-an yang palsu dan mengarah kepada semakin berlanjutnya rasa jati diri yang khayal

Dharma atau jalan hidup rohani sejati, memberikan makna yang sesungguhnya dan juga arti tertinggi bagi hidup ini. Keputusan untuk berusaha memahami atau memilih jalan rohani biasanya berasal dari ketidakpuasan kita atas segala kekurangan dan kelemahan dalam hidup yang kita jalani. Namun pertanyaannya mengapa seseorang yang kita lihat sama menderita dan tidak puasnya dengan diri kita, atau juga bahkan lebih menderita dari kita, justru sama sekali tidak berusaha untuk memahami Dharma? Mengapa seseorang bisa hidup nyaman di tengah penderitaannya?

Itu karena dia, jiva yang terperangkap dalam tubuh duniawi, sepenuhnya berada dalam khayalan. Ini merupakan keadaan alamiah semua jivatma terikat yang berada di manifestasi alam semesta fana. Jadi sebenarnya semua makhluk di alam ini mengalami kebingungan atau menjalani hidup dalam keadaan tertipu yang sama. Dengan demikian adalah alamiah bila mereka terperangkap dalam konsep jati diri yang salah, hidup dalam keadaan yang tidak sebenarnya, dan berusaha menggapai tujuan yang bukan seharusnya.

Jivatma pada dasarnya penuh kebahagiaan. Karena itu semua makhluk hidup selalu menginginkan kebahagiaan. Tetapi karena semuanya berdasarkan atas konsep pemahaman yang salah atau tidak seharusnya, maka mereka menganggap keberhasilan duniawi yang ternoda oleh Sapta-dosha sebagai tujuan utamanya.

Di sisi lain, jivatma merupakan bagian dari Tuhan Sendiri. Jivatma bersumber dari Tuhan dan jati diri sejatinya adalah berhubungan dengan Tuhan. Sekalipun kebahagiaan (anandam) merupakan karakteristik sejati dari jivatma, namun ketika dia terpisahkan dari Krishna, kebahagiaan sejati ini tidak terwujud dan tidak bisa dirasakan secara sempurna oleh jiva. Srimad Pillai Lokacharya mencontohkan bahwa salah satu hubungan jiva dengan Krishna dijelaskan sebagai sesha-seshi sambandham, artinya Krishna adalah Sang Pemilik (seshi) dan jiva adalah milik-Nya (sesha). Kepemilikan di sini bukan seperti hak milik terhadap benda-benda yang terpisah, seperti kita dengan sepeda motor kita contohnya. Tapi milik yang sangat berharga dan disayangi seperti tubuh ini. Tangan, kaki, mata, semua sangat berharga bagi kita. Semua adalah bagian dari tubuh ini. Hubungan seperti itu juga dipahami sebagai sharira-shariri sambandham, seperti badan (sharira) ini dengan pemilik dari badan ini (shariri) yaitu kita. Tentu saja kita menerima ini sebagai perumpamaan, sesuai keadaan kita saat ini, karena kita juga diajari bahwa sang diri sejati bukanlah badan. Tapi perumpamaan itu cuma untuk mempermudah pemahaman saja. Oleh hubungan yang begitu akrab ini, Krishna menganggap bahwa semua jiva adalah milik yang sangat dicintai-Nya. Ketika milik-Nya yang sangat berharga ini berpisah dengan Beliau dan mengalami begitu banyak penderitaan tanpa mampu merasakan kebahagiaan sejati sama sekali, maka dengan segala cara Beliau berusaha untuk membuat mereka kembali berkumpul bersama-Nya.

Krishna sebagai Tuhan Yang Maha Esa dikenal sebagai ananta-kalyana-guna-nidhim, samudera sifat-sifat rohani yang tiada batasnya. Salah satu divya-gunam terpenting yang ada pada Krishna adalah Daya atau Kripa, yaitu Maha-welas asih. Belas kasih Krishna tidak terbatas seperti lautan. Beliau adalah Daya-nidhim, samudera belas kasih. Oleh karena itu sedikit saja ada pelayanan (kainkaryam) yang dilakukan oleh jiva. Setitik saja, bahkan tanpa diketahui atau disengaja oleh jiva, maka ini akan segera menggerakkan Krishna untuk mencurahkan Daya-Nya. Ini disebut ajnata-sukritham atau ajnata-bhakti-sukrithi.

Semua hubungan kita pada Krishna berdasarkan atas CINTA. Dalam cinta hanya ada kerelaan, keikhlasan, tidak ada paksaan. Karena itu Krishna tidak memaksa jiva untuk datang mencintai Beliau, sekalipun Beliau tahu jiva adalah milik-Nya yang paling berharga, dan dia hanya akan bisa berbahagia bila berada bersama Beliau. Cinta ini hanya bisa tumbuh oleh cinta juga. Ini bukan perdagangan. Itu sebabnya jiva hanya bisa datang kepada Krishna, juga hanya melalui karya-karya dalam cinta. Segala jenis perbuatan bajik, kedermawanan, atau aktivitas keagamaan seperti melakukan pertapaan, sumpah hidup suci, dsb. tidak bisa membawa kita kepada Krishna. Hanya aktivitas dalam cinta rohani atau bhakti (divya kainkaryam), yang bisa membawa kita kepada Beliau. Contoh dari aktivitas bhakti ini ada banyak sekali sebagaimana disebutkan dalam berbagai bhakti-sastra. Tapi mudahnya saya coba golongkan jadi dua, yaitu berhubungan dengan Krishna secara langsung dan berhubungan dengan para Vaishnava-Mahabhagavata, penyembah murni yang sejati. Contoh kainkarya pertama adalah misalnya mempersembahkan puspanjali, bunga pada kaki padma Srimurti atau Archa Krishna. Contoh yang kedua misalnya memberikan tempat berteduh kepada Vaishnava-Bhagavata saat hujan atau panas terik.

Dalam salah satu kehidupan dari jiva, anggaplah misalnya dia lahir sebagai petani. Di sawahnya dia membangun sekedar pondok berteduh untuk menjaga padi dari burung, lalu di dekat pondok itu dia menanam sebatang pohon bunga, jepun (kamboja) misalnya, untuk senang-senang saja. Kedua jenis kainkarya di atas lalu akan saya gabung saja contohnya, supaya ada bayangan. Suatu ketika seorang Vaishnava-Bhagavata lewat di tempat itu, karena panas terik beliau lalu berteduh di pondok si petani. Bersama Bhagavata ini juga ada sebuah salagrama-sila atau Archa Krishna yang beliau puja. Waktu sudah siang dan Bhagavata ini ingin melakukan persembahan kepada sila atau Archanya, lalu beliau memetik beberapa bunga dari pohon jepun yang ditanam petani itu. Seketika itu juga Krishna, karena Beliau adalah Maha-berbelas kasih, parama-dayalu, menemukan alasan untuk mencurahkan karunia-Nya yang dikenal sebagai prasada. Prasada adalah aliran karunia berbentuk nyata yang dapat membawa jiva kembali kepada-Nya.
Krishna menganggap petani itu sengaja membangun sebuah pondok untuk tempat berteduh sadhu-bhagavata, maka ini menjadi bhakti-kainkaryam. Lalu Krishna juga menganggap petani itu sengaja menanam pohon jepun demi menyediakan bunga untuk keperluan puja kepada Archa Beliau, ini juga menjadi bhakti-kainkaryam. Walaupun sebenarnya bukan itu maksud si petani, bahkan dia juga tidak tahu ada sadhu-bhagavata berteduh di pondoknya dan memetik bunganya. Tetapi Krishna tetap menghitungnya sebagai bhakti-kainkaryam. Jasa rohani yang muncul dari kainkaryam ini disebut ajnata-sukritham. Ajnata-sukritham sudah cukup untuk membuat Krishna mengubah Daya yang ada dalam Hati Beliau menjadi Prasada. Hanyalah melalui Vaishnava-sadhu-mahabhagavata dan aktivitas bhakti tanpa noda motivasi duniawi ini saja, Prasada dari Krishna dianugerahkan kepada jiva.

Ajnata-sukritham
kemudian akan tumbuh menjadi apa yang kita sebut sraddha, keyakinan rohani terhadap Dharma. Sraddha ini menjadi dasar untuk tahap selanjutnya dari bhakti. Sri Krishna sebagai Paramatma kemudian mengarahkan jivatma ini, apakah dalam hidup saat itu juga, atau dalam hidup selanjutnya, sehingga dapat bertemu lagi dengan seorang sadhu-bhagavata secara pribadi ataukah melalui ajarannya, yang kemudian akan membawa dia selanjutnya bergerak terus agar dapat berkumpul lagi dengan Parambrahman Bhagavan Sri Krishna. Saat itu jugalah, jiva secara tulus dan murni akan mulai bertanya mengenai jati diri sejatinya, apa tujuan dari kehidupan ini, dan bagaimana dia bisa mencapai kebahagiaan sejati yang mahakekal. Paramatma, Tuhan yang bersemayam dalam hati semua jiva, mengetahui segala sesuatu yang ada dalam sang jiva, apa kehendaknya, apa yang diinginkannya, apa tujuannya. Paramatma kemudian mengarahkannya pada jawaban yang diinginkannya. Ketulusan dan kemurnian dalam mencari jawaban ini, membawanya lebih lanjut untuk lebih memahami diri sejatinya dan sifat sejatinya, lalu menentukan bagaimana posisinya dalam kehidupan di masyarakat dan peranannya di alam semesta ini.